Thursday, April 2, 2009

Pemerhati Bintang dan Harmonikanya

Lintang.
Dia bukan si bocah cerdas Laskar Pelangi.
Dia hanya si pengagum bintang.
Bintang.
Benda yang berpendar sederhana di langit malam.
Suatu kesederhanaan yang membuat segalanya menjadi berarti.
Penunjuk arah abadi bangsa Maya Kuno. Penggerak nahkoda berputar haluan diambang batas laut.
Bersama harmonikanya Lintang bernyanyi bersama malam. Suara harmonika yang lantang. Berat. Anggun.
Seperti para pengembara yang mencari keindahan puteri raja yang terkurung dalam kastil.
Di tatapnya lekat-lekat langit gelap itu.
Ketika bulan bersinar begitu terang. Malah menambah indah si perupa langit.
Dirasakannya hawa dingin yang menurutnya sejuk itu.
Dihirupnya dalam-dalam. Dan di buangnya jauh-jauh beban yang mengikat.

Seorang tua tertarik pada alunan melodinya.
Dari balik jendela yang masih terbuka dipejamkan mata.
Seorang tua. Merasa bertemu yang Ia sayangi. Dulu, ketika Ia masih gadis. Masih sibuk mengurusi tentara perang yang terluka.
Tiba-tiba hatinya terharu. Ingin menangis. Tapi tak ada air mata yang keluar.
Di masa kini. Ia menjadi merasa bodoh. Tapi tidak ketika melodi harmonica Lintang bertautan.
Syukur. Itu yang kini Ia rasakan.

Menyadari ada yang menikmati. Lintang menoleh.
“Eeeh, Nek! Belum tidur? Awas rematik…” teriak Lintang
“Lah, kamu sendiri?” jawab nenek
“yeeee… yaudah tidur..tidur..” Paksa Lintang
“Kamu juga masuk sini!! Awas rematik!!” teriak nenek dengan suara yang hampir parau
“Hah??” bingungnya Lintang.

Suara harmonica masih terdengar.
Tapi jauh disana.
Karena para bintang adalah penyimpan sejarah. Termasuk hari ini.
Dialunkannya musik.
Bukan dari harmonica milik Lintang.
Tapi milik alam…

Sumber Gambar: tukangkopi.wordpress.com

Sawangan, 2 April 2009
9:29:03 PM

No comments:

Post a Comment