Thursday, December 24, 2015

Antara Skripsi dan Film

Yippie... baru beres nonton Star Wars yang baru. Biar begitu gue bukan yang ngikutin ceritanya, jadi harus dijelasin dulu soal Starwars universe sama adek gue. Hmm maklum deh anak 90-an abal-abal hahaha...
Tapi bukan soal Starwars yang mau gue tulis disini. Soal Starwars nanti aja di blog review.

Sekarang tahun 2015 sudah mau habis dan akan beralih ke 2016. Tapi skripsi gue tetap aja belum selesai. Banyak hal sih, tapi kebanyakan karena males ngetik hehe... Iya males ngetik. Kalau gue gak malas ngetik, bukan skripsi aja yang cepet selesai, tapi dua blog gue juga gak akan terbengkalai gini. Sampai tulisan ini diturunkan, blog gue yang satu lagi malah belum di-update. Parah betul ini malas...

Kadang kalau lagi mikirin soal skripsi, entah kenapa gue suka mengibaratkan nyusun skripsi ini seperti bikin film. Yah, walaupun secara teknis gue sama sekali tidak mengerti cara bikin film. Kebanyakan hasil gue baca-baca artikel dan semacamnya aja. Gak tau kenapa ya, mungkin karena hobi gue yang gampang banget lari ke bioskop. Apalagi di Jatinangor, bioskopnya dekat kostan dan lumayan terjangkau sih.

Gue mulai mengibaratkan bikin skripsi ini seperti bikin film itu sejak gue mulai nyusun kerangka pemikiran untuk di usulan penelitian. Berkali-kali direvisi gara-gara kata dosen pembimbing gue, latar belakang dan kerangka pemikiran gue masih gak nyambung. Belum jelas apa yang mau diteliti. Wadaw... Lagi mumet mikir cara nyambungin itu semua, gue iseng-iseng buka artikel tentang film-film di internet, sambil update film baru yang asyik dan juga kepo soal berita-berita industri diluar sana. Macam-macam berita keluar. Dari mulai rilis film terbaru sampai gosip-gosip dibalik pembuatan film. Tentang film yang bocor ke publik, tentang film yang gagal dipasaran, tentang film yang jadwal rilisnya mundur, tentang gonta-ganti kru, dan lain-lainlah...

Sambil ngelamun, gue pikir bikin film hampir serupa ya sama bikin skripsi.
Kayak bikin skripsi, film juga pasti punya tema awal. Tema yang nantinya dikembangin jadi cerita, karakter, alur, dan sebagainya. Dulu, waktu gue ngajuin tema skripsi, gak terlalu sulit. Lolos aja. Kerepotan mulai muncul pas bikin latar belakang dan kerangka pemikiran. Pokoknya hal-hal di bab satu yang sangat essensial, tapi teknikal. Mamam gak tuh... Essensial, semacam kenapa ngambil topik ini, apa menariknya, apa pentingnya. Belum kerangka pemikiran, harus runut. Kalau enggak, balik lagi, revisi lagi. Ditambah persoalan teknik metode penelitian, mau dibuat seperti apa skripsi ini, metodenya mau kualitatif atau kuantitatif.
Gara-gara ngerjain skripsi ini, kemudian gue menyadari kenapa ada skenario film yang sampe makan waktu satu tahun atau lebih. Setidaknya itu sering banget gue denger beritanya. Hmm... Kalau liat di film Saving Mr. Banks, itu bisa tergambar gimana merancang satu cerita. Dibikin dulu alur ceritanya, digambarin tiap karakter mau seperti apa, belum kalau ada silang pendapat, antara mau dibuat film musikal atau tidak.
Seriously, alur cerita di film itu ternyata penting loh. Bukan cuma alur sih, tapi isinya juga. Kadang-kadang ada film yang spektakuler tapi dari segi cerita dan alur gak oke. Kalau udah gini, jangan liat komennya para kritikus deh, nyakitin :(.

Lalu sama seperti skripsi, film juga punya jadwal. Jadwal syuting dan jadwal rilis. Wah kalo ini, ibaratnya film, skripsi gue tuh kayak serial Sherlock yang jadwal rilisnya mundur terus.
Jadi begitu lah, gara-gara ini gue jadi berpikir bahwa film itu ternyata cukup terstruktur juga ya. Proses kreatif yang terstruktur? bisa gak kalau dibilang gitu? Berarti bikin skripsi juga proses kreatif yang terstruktur juga? Haaaah... kagak deh kayaknya hahaha...

Ooh satu lagi, entah ya, gue suka mengibaratkan dosen pembimbing gue tuh seperti eksekutif produser hahaha... Yang tandatangan acc-nya penuh arti. Ibaratnya nih, gue bikin skenario (cerita, karakter, alur, teknik gambar, dll), nah dospem gue tuh bagian yang acc-nya, setuju atau enggak ini skenario jalan hehehe... Yah gue gak mau aja, berakhir macam Fantastic Four-nya Josh Trank yang kacau gara-gara miskomunikasi antara sutradara dan produser :p.

Jadi begitulah. Yah, gue sih gak pengen bikin skripsi sekelas Interstellar yang amat sangat matang, atau Starwars yang spektakuler. Atau seperti Fight Club atau Memento yang hasil akhirnya unpredictable. Tema skripsi gue juga gak nge-pop layaknya saga Hunger Games. Cukuplah di titik aman macem film-filmnya Nicholas Cage atau Steven Seagal. :)


So, kalau diibaratin film, skripsi mu ini film apa?

Monday, August 24, 2015

Kids Story and Indonesian Tale

Tulisan ini sudah lama pasang surut dipikiran saya. Apalagi sebagai penggemar dan penikmat dongeng, seringkali muncul harapan seperti ini.

Awalnya saya berencana bikin review tentang film Inside Out (2015) yang baru tayang sekitar seminggu ini. Tapi kelihatannya saya lebih bergairah untuk menulis di blog pribadi dulu. Jadi tadi, lagi-lagi Pixar mengeluarkan sebuah film animasi yang menarik--dan menyentuh sebenarnya. Kali ini ia bekerjasama lagi dengan Disney setelah film Brave (2012). Kali ini saya gak akan cerita soal sinopsis dan seluk-beluk film ini, itu nanti aja di blog sebelah, hehe...

Gak dipungkiri Inside Out seperti mampu menaikan image Pixar. Iya, bahkan beberapa film Pixar masuk dalam daftar "Film Favorite" saya, kayak Monster Inc. (2001), Up (2009), dan Brave. Meski, khususnya film semacam Up dan Brave tidak se-hits Monster Inc. Baiklah sekarang saya mencoba sharing soal ide ceritanya. Film Monster Inc. misalnya bercerita tentang dunia monster yang mana teranyata tidak semenyeramkan seperti stereotipnya. Bahkan dalam film ini intens sekali menyorot hubungan saling menyayangi antara Sully dan Boo. Lalu pada film Up, ini lebih membumi lagi, tentang kakek Frederick dan Russel yang berpetualang untuk mencari air terjun Falls Paradise untuk memenuhi janji Frederick pada alm. Istrinya (review Up bisa dilihat disini).

Yang menjadi sorotan utama saya dari dua contoh film tadi adalah ide ceritanya yang sederhana namun matang. Yah, anggap aja ini semacam kekesalan saya terhadap film Indonesia. Jadi begini, beberapa kali, setelah Laskar Pelangi (2008) yang booming itu, saya melihat beberapa kali ada film anak-anak yang coba dibuat. Namun kemudian tipe cerita, gaya mengharu-birunya mirip sekali dengan film pendahulunya. Kemudian ada gebrakan baru lagi di film anak-anak Garuda Di Dadaku (2009), namun setelah itu hilang saja yang namanya film anak. Mungkin ada beberapa lagi, kalo kita flashback ke awal 2000, saat itu ada Petualangan Sherina (2000) dan Denias: Senandung Diatas Awan (2006).

Pernah suatu ketika saya nonton film anak yang saya lupa judulnya (sebenarnya yang saya masuk film anak disini kalau dilihat dari kategori penonton adalah semua umur dan 13th keatas), buset, penuh sama yang namanya glorifikasi kesedihan dan kesusahan. Mungkin boleh saja sih ada cerita macem begitu, bagus juga untuk mengingatkan anak-anak Indonesia tentang orang-orang yang kurang mampu dan agar mereka bisa lebih semangat belajar. Tapi lebaynya ituloh yang gak nahan. Biasanya kalo film lebay begini tujuannya memang untuk membuat penonton terharu, tapi seringkali film begini justru malah kehilangan tujuan ceritanya, alur ceritanya. Beneran, saya sering banget bete kalau nonton film yang seperti maksa penonton untuk nangis, tapi bahkan saya gak dapet sama sekali jalan ceritanya dan maksud ceritanya.

Kadang film anak itu emang bukan cuma untuk anak-anak, kayak Brave, itukan salah satu kisah princess dari Disney. Meskipun begitu toh inti film itu bukan bagaimana menjadi putri yang baik, tapi cerita bagaimana ibu dan anak bisa mendengar satu sama lain. Atau cerita Finding Nemo (2003), yang bukan cuma cerita tentang petulangan Marlin yang mencari anaknya, tapi juga cerita bagaimana ketika seorang ayah harus mulai percaya untuk melepas anaknya ke dunia luar. Kisah yang lebih sederhana lagi, Toys Story (1995), cerita tentang mainannya Andy, dan lebih jauh lagi film ini mengisahkan tentang bagaimana Andy menyayangi mainannya--meski hanya mainan. Bahkan di film terakhirnya, saya terharu ketika bagaimana Andy harus memberikan mainan-mainan kesayangannya itu pada anak lain, dengan tujuan agar mainannya itu tidak terbengkalai. Cerita anak yang di nikmati semua kalangan usia. Tentunya dengan tidak kehilangan feeling utama cerita.

Lalu apa hubungannya dengan Indonesian Tale? kok saya cantumin di judul? Jadi gini, sering gak sih kalian nonton film anak yang didasarkan dari kisah-kisah folklor? khususnya Disney, sering banget ngankat cerita itu. Baiklah kita runut dari princess Disney, darimana saja mereka. Setau saya, Cinderella itu dari Inggris, Belle dari Prancis, Mulan dari Jepang, Jasmine asal Baghdad, Pocahontas dari suku Indian, Esmeralda dari keturunan Gipsy, Merida dari suku Nordik, dan Elsa dari Rusia.
So, sadarkan kalau folklor itu paling mudah untuk dijadikan dan disesuaikan untuk film anak. Folklor itu semacam cerita rakyat, bisa cerita legenda atau sekedar mitos (koreksi ya kalau salah). Dan folklor Indonesia itu buanyak banget. Tapi sayang, kebanyakan dari folklor ini seringkali malah berakhir di film horor. Emang folklor lebih cocok untuk film horor? hmm... sebenarnya bukan begitu, setiap folklor selalu punya banyak versi. Taukan cerita Gadis Bejubah Merah? itu cerita anak loh, tapi kalau kau baca another story nya, itu horor banget.

Jadi begitulah unek-unek saya setelah di hipnotis oleh Uya Kuya (loh? hahahaha). Oiya, sebelum film Inside Out mulai tadi, ada film pendeknya dulu. Bagus deh, ceritanya tentang gunung api. Dan yang terlintas dipikiran saya adalah, kita yang hidup dikelilingi gunung api kok kepikiran ya tentang cerita begini. Tapi yasudahlah. Ini ada lagunya, selamat menikmati :)




Monday, August 17, 2015

Pura-pura Tenang

Samudra berdesir
Menghantarkan harum garam
Beberapa orang senang duduk di tepian
Katanya harum garam itu menenangkan mereka
Juga buih-buih yang timbul tenggelam di sela-sela kaki mereka.
Sebenarnya mereka adalah pikiranku
Pura-pura tenang

Sunday, August 2, 2015

"The wound is the place where The Light enters you"


-- Rumi

The Questions of Life

Waw sudah berapa lama ya saya gak nulis di blog ini. Oiya, fyi saya telah membuat satu blog baru yang isinya khusus tulisan mengenai review film. Kenapa akhirnya saya split menjadi blog lain, tujuannya agar fokus aja. Jadi blog yang ini biar jadi kumpulan tulisan bebas saya. Jadi blog yang satunya lagi itu, yang megang masih tetap saya, ibaratnya adminnya masih saya. Tapi diisi oleh tulisan saya dan adik saya. Kenapa begitu, karena awalnya saya berpikir, lucu juga ya kalo obrolan saya dan adik saya tentang dunia film dituturkan dalam sebuah blog. Itung-itung meramaikan gaung perfilman di Indonesia juga sih hehehe...

Ini blognya, silahkan mampir > Kata Penonton

Sudah informasinya. Mari kita masuk ke cerita.
Beberapa minggu lalu, saya pulang dari Bandung setelah mudik Lebaran, naik travel ke Jakarta. Perjalanan di travel selalu membosankan. Karena lupa bawa headset, akhirnya saya menguatkan diri ditengah kebosanan dan kesunyian travel di siang itu. Di mobilnya juga enggak diputer lagu atau apa kek gitu. Sunyi, penumpang lain pada tidur.

Biasa, kalau lagi diem begitu, gak aneh kalau ada pikiran-pikiran bebas yang bersliweran. Salah satunya, tentang pertanyaan yang selalu muncul kalau kita lagi kumpul keluarga. "kapan lulus?", "mau kerja dimana?"," atau langsung jebret "atau mau nikah dulu?". Alamak! skripsi saya saja masih nunggak. Sebenenarnya ini isu klasik yang sering dihadapi mahasiswa tingkat akhir seperti saya ini. Udah biasa, harusnya. Tiap tahun, pasti selain menyiapkan baju untuk menginap di rumah saudara, juga jawaban-jawaban pamungkas untuk serangan pertanyaan ini.

Tapi dipikir-pikir, memangnya salah kalau ada pertanyaan seperti itu. Toh, saya sendiri juga sering bertanya soal, "udah kelas berapa?", "mau launjut sekolah kemana?", ke saudara-saudara saya yang lebih kecil dari saya. Dan pada masanya, saya pun akan termasuk orang akan melemparkan pertanyaan "kuliahnya sudah sampe mana?", "mau lanjut kerja atau S2?" pada saudara-saudara saya tadi. So, sebenernya harusnya pertanyaan itu sudah tidak aneh.

Kemudian yang saya pikirkan adalah kenapa muncul pertanyaan seperti itu? kenapa lebih terasa enggan menjawab pertanyaan seperti itu pada usia saya yang sekarang? kenapa dulu santai saja kalau ditanya sama saudara-saudara? Bukan berarti saya keberatan ya, sama sekali tidak. Ini cuma pemikiran dikala travel begitu membosankan. Hehehe...

Akhirnya saya sampai pada satu jawaban, kenapa pertanyaan-pertanyaan seperti itu muncul? Itu karena society (saya pikir kata "society" cukup pas menggambarkan masyarakat yang saya maksud) mulai menagih peran kita di kehidupan bermasyarakat. Mengingat saat saya menerima pertanyaan-pertanyaan ini usia saya sudah 23 tahun. Mungkin society merasa pada usia saya tersebut sudah cukup untuk mulai berperan di masyarakat. Ibaratnya, kamu sudah kuliah, sebentar lagi selesai, udah saatnya kamu mulai cari uang untuk keluarga, atau setidaknya dirimu sendiri. Kita mulai ditarik pada kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan aturan, seideal mungkin.
Pertanyaan itu tak pernah selesai selama kita belum 'ideal'. Contoh, kalau kamu sudah berusia 29 tahun dan belum menikah, tau dong pertanyaan apa yang akan muncul? hehehe... Karena menurut society hal tersebut tidak ideal.

Tapi tenang, pertanyaan itu kelihatannya bisa selesai juga, pada usia yang dianggap sudah cukup atau telah selesai menunaikan perannya di masyarakat (telah ideal ataupun tidak ya). Kayak umur-umur nenek ku gitu. Pertanyaan yang keluar adalah "sehat bu?", "cucunya berapa bu?", bukan pertanyaan menuntut lagi.

Jadi, bagi saya, masa-masa penuh tuntutan ini sebenarnya seru juga kalau dinikmati. No, setiap masa (part of your life) itu layak untuk dinikmati. Oh bukan lagi, bukan dinikmati bahasanya, layak untuk disyukuri dan diikhlaskan.