Tuesday, April 21, 2009

Kursi Hujan

Aku... Dan semua yang terluka karena kita..
(peterpan-mimpi yang sempurna)

Hujan baru saja berhenti mengguyur di sore itu. Hingga panas tanah menguap kepermukaan. Seperti uapan Gia yang berhenti di tengah ketika Ia menyadari indahnya lembayung sore diujung lapangan.
Gia duduk di kursi kayu yang sangat nyaman. Kursi yang dibeli dengan harga miring di toko mebel bekas. Gia mulai menaikan kakinya ke atas kursi. Suara anak-anak riuh, seriuh peluh yang bercucuran sebagai efek kejaran mereka pada bola itu dan nantinya akan menciptakan bau yang sangat semerbak ketika mereka mulai menjelajahi warung kecil dipojok sana. Gia menghela nafas. Udaranya segar tapi hangat. Segerombolan anak gadis bercuap cuap tentang berbagai hal di depan rumah Gia. Dulu ketika Gia masih duduk di bangku SMP gadis-gadis itu cuma bocah yang sibuk melompat, meliuk liukan kaki di karet yang membentang. Sekarang, pikir Gia, omongan mereka mulai terarah pada objek hitam, ya, mereka segerombolan ibu-ibu junior.

Sesungguhnya Gia bersyukur hari ini Ia tidak kemana-mana. Terlalu lama berkegiatan pada hari libur malah sering membuat emosi Gia menanjak cepat, drastis. Seperti pulse censor yang tiba-tiba menggambarkan grafik naik hanya dalam hitungan detik. Benar. Benar-benar Gia sangat dongkol jika rencananya tidak berjalan lancar. Dan kota metropolitan ini sangat bersemangat untuk merusak rencana Gia. Macet disana-sini. Bis yang ngetem sembarangan. Mungkin kalau mau meneliti tentang tingkat kesabaran datanglah ke Jakarta, karena disini banyak orang-orang sabar atau lebih tepatnya orang-orang yang dipaksa untuk lebih sabar, kalau kata guru sosiologi Gia, Enkulturasi.

Hmm. Jujur saja, segala kedongkolan Gia bermula pada omongan temannya yang dianggap Gia menyepelekan sesuatu yang...hmm sensitif.

"iya, kata pak XXX, biasanya orang sukses itu anak ipa yang masuk jurusan ips pas kuliahnya," kata orang yang membuat Gia dongkol itu.

"masa sih?" tanya Gia

"iya, soalnya anak ipa itu sistematis, jadi kalau berfikir sesuai urutan kan kalo ips sesuai cerita," kata si orang itu lagi.

"gak juga ah," ah, Gia mulai berucap separuh-separuh, bibirnya mulai terkatup rapat, sorot matanya mulai mendingin. Tapi Ia hanya diam. Gia sadar Ia tak pandai berdebat.

Dalam hati Gia, "bodoh... tapi si pengambil keputusan ada di sini, gw anak ips. Tanpa proses berfikir yang terlalu lama tanpa sistematika yang rumit. Kalau daritadi gw gak mulai nyusun artikel, beli pilox, ba..bi..bu.. nempel-nempelin artikel, gak selesai nih tugas mading. kelar kan sekarang urusannya, gak kesorean kan lu pulangnya." Gia membatin lirih.

Hmm... bersosialisasi itu melelahkan. Tapi dari sosialisasi kita tahu masih banyak hal yang perlu dibuktikan, setidaknya bagi Gia.


Sawangan, 21 April 2009
10:09 pm
Note: Hari Kartini. Untuk semua perempuan yang bisa membuktikan diri. Karena perempuan itu lebih berharga ketika mereka punya prinsip.

No comments:

Post a Comment