Friday, October 30, 2009

Pelajar dan Ibukota



Minggu ini. Ah, tapi tepatnya hari ini, mungkin siang tadi. Atau akhir-akhir ini. Aku stabilkan semua emosi yang menyambar-nyambar hati. Semua itu tak pelak hasil akumulasi capek sementara otak terus diperas untuk suatu ambisi, atau harapan.

Harapan untuk menjadi mahasiswa. Ahahaha... Itu mungkin harapan dari setiap anak dikelas. Otak diperas hampir 3/4 hari untuk menyerap semua kebutuhan ujian. Sampai-sampai jari-jari yang telah bersahabat dengan pulpen yang silih berganti, datang dan pergi selama hampir duabelas tahun mengkriting. Tulang punggung pun seperti mulai mengkerut hingga menyerupai skoliosis akibat kebanyakan nunduk dan mencatat.

Tapi aku menjadi sangat menikmati tahun terakhir aku menjadi murid SMA (amin...). Entahlah, terlalu banyak yang dilalui untuk waktu sesingkat ini. Hingga dada sesak oleh segala kenangan.

Sampai tadi aku bisa melihatnya dari dekat. Hihihiiii... ternyata hidungnya muncung juga ya. Tidak tau kenapa aku yang bangga melihatnya punya hidung mancung. Ahhahaahhaha....

Dan untuk beberapa saat kedepan. Perjalanan akan semakin berat untuk mencapai suatu kesuksesan ujian sekolah. Dan kebanggaan menjadi mahasiswi. Hhoo, mahasiswi? terdengar lebih dewasa ketimbang siswi yang identik dengan seragam, rambut di kuncir, dan gaya jalan yang selengean. Aku merasa menjadi anak jalanan yang sesungguhnya. Makan dijalan, tidur dijalan, bedakan di jalan, ngisi soal-soal dijalan. Anak jalanan yang sesungguhnya. Rumah kadang hanya menjadi tempat numpang tidur. Bahkan aku percaya para pak ogah dipersimpangan jalan yang sering aku lalui familiar dengan mobilku.

Saking lama dijalan aku menjadi lebih sering memperhatikan keadaan sekitar jalanan yang biasa aku lalui. Telah banyak perubahan di kota ini. Malah aku kira lama-lama daerah ku akan menjadi daerah otonomi independen. Lihat saja di jalur arah ciputat. Mc Donald, Giant (2 area lagi), carefour sampai futsal club. Heeii, tapi it's just my opinion ya. Jakarta atau yaa daerah sekitarnya itu daya beli nya (maksudnya harga) lebih murah ketimbang di Bandung yang notabene tempat kongkow. Oke ya...

Hanya sepertinya Jakarta kurang lebar untuk menampung masyarakat urban didalamnya. Pernah suatu ketika aku terjebak macet. Jalan di Jakarta memang lebar-lebar, tapi kalau sudah macet jangan harap bisa keluar dengan mudah. Makanya jangan anak tirikan para supir metromini (dan kenek), dengan bawaan besar ia bisa menyelip diantara inova-inova tersebut dengan mudah dan pedenya. yaah, telinga mereka sudah terbiasa dengan umpatan, malah mungkin bagi mereka segala umpatan itu nyanyian kota yang merdu. Yang menghangatkan suasana sehingga mereka betah di Jakarta. Seperti aku, mereka telah melupakan bahwa mereka telah masuk ke dalam lingkaran panas ibukota. Dengan segala persaingan yang tangguh dan jantan.

Akhirnya aku bisa nulis lagi. Bagi ku nulis itu hobi. Seperti mamah yang hobi meracik tanaman. Kalau dalam iklan pocari sweet, setelah menulis, ion didalam tubuh ini kembali terisi. Dan siap kembali menghadapi tuntutan harapan dan kerunyaman ibukota.

No comments:

Post a Comment