Pagi-pagi buta Rana sudah bangun. Namun Ia tak tau pasti apakah Ia benar-benar sudah bangun atau belum, tapi yang pasti Ia merasakan udara begitu sejuk menyapanya.
Dibukanya pintu rumah kecilnya di komplek itu. Rumah Rana bukanlah satu-satunya rumah berukuran mungil di komplek itu karena hampir seluruh rumah komplek itu memang setipe.
Rana keluar dari rumahnya. Udara masih dingin berhembus membuat tulang terasa nyeri ditambah dengan angin yang masih semangat meniupkan sisa-sisa udara malam. Rana berjalan santai menapaki jalan yang bercabang membentuk celah-celah yang padat oleh rumah.
Masih sepi. Tenang. Asli. Melewati tiang listrik yang kokoh berdiri diantara pohon-pohon yang tertata rapi. Rana tidak tau kalau ada mata-mata kecil yang mengawasinya. Itulah mata peri-peri malam yang belum sampai ke rumahnya. Mereka mengumpat diantara dedaunan pohon yang basah oleh sari embun yang licin. Menunggu Rana lewat. Tak hanya para peri itu yang mengawasi Rana. Ada burung hantu yang dengan tenang memutar mutar kepalanya untuk mengawasi keadaan sekitarnya.
Sampailah Rana di ujung komplek. Disini agak sedikit ramai karena kehidupan pagi mulai menggeliat ke permukaan. Tak ada emosi dan masih segar dilihat. Itulah yang dirasakan Rana.
Tapi ada sesuatu yang mengganjal di hati Rana. Entah apa itu. Seperti ada yang terlupakan. tapi Rana tak terlalu memperdulikan itu.
Tiba-tiba matahari seperti beranjak terlalu tergesa gesa dari istananya membuat silau mata Rana. Dikedipkannya mata Rana. Setelah agak beberapa lama sinar terang itu perlahan menghilang dan seperti mesin waktu yang dengan cepat membawa terbang tubuh Rana ke atas tempat tidur. Empuk dan dingin. Dan Rana tersadar kedalam keadaan yang sebenarnya. Yang realistis dan nyata.
No comments:
Post a Comment