Wednesday, July 30, 2008

Pembawa Berita Kemarau

Mareene si Peri Hijau meloncat-loncat dari daun ke daun. Ia harus cepat karena berita dari Angin Barat harus sampai ke telinga Ratu Hutan secepatnya. Sayap tipisnya sudah tak kuat mengepak diantara hujan yang jatuh, jadi ia hanya bisa meloncat-loncat.
Tapi karena terlalu tergesa-gesa ia terpeleset diantara daun2 besar itu. Ia jatuh ke tanah empuk yang basah oleh air hujan. Ia sudah tidak kuat lagi untuk bangun. Diantara samar Ia mengerjap-kerjapkan matanya. Oooh, Pak Tupai dengan baiknya menariknya ke dalam batang pohon yang hangat dan wangi.
Mareene berusaha bangun dari tempat tidur, punggungnya sakit sekali. Sayapnya juga sudah layu. Disekitarnya terlihat mangkuk yang mengepulkan asap.
"Kenapa kamu tergesa-gesa sekali Mareene?" terdengar suara dari pintu masuk.

"ahh... Pak Tupai aku harus segera bertemu Ratu Hutan secepatnya," rengek Mereene

"baiklah, tapi sebaiknya kau hangatkan dirimu terlebih dahulu," sambil berkata Pak Tupai memberi Mereene mangkuk yang berasap itu.
"habiskan dulu sup jamur madu ini, setelah itu baru kau boleh pergi."
Mareene memakan sup itu dengan tergesa-gesa.
"memang ada berita apa Mareene?"
"berita dari Angin Barat. Tadi pagi utusan Angin Barat, menyampaikannya padaku. Kemarau panjang akan segera tiba sekitar 2 minggu lagi. Karena itu aku harus segera bertemu Ratu Hutan agar dapat segera mengumumkan pada rakyat hutan. Aku tidak ingin keluarga ku kembali dipersalahkan akibat tak tepat waktu menyampaikan pesan ini" ujar Mareene panjang lebar.
"ya..ya aku mengerti. Kalau begitu sebaiknya aku panggilkan si Perkutut untuk mengantarmu sampai ke istana. Di luar angin kencang sekali, sayap mu bisa rusak kalau memaksakan terbang." ujar Pak Tupai.
Dengan hati-hati Mareene naik ke punggung Perkutut yang licin karena terkena air hujan. Perlahan tapi pasti Perkutut mengepakkan sayap dan mulai melayang terbang.
"berhati-hatilah Mareene. Laksanakan tugasmu dengan sebaik-baiknya!!" teriak Pak Tupai yang suaranya bergema diantara pohon-pohon hutan.
Mereka terbang semakin jauh dan jauh.
Sampailah Mareene dan Perkutut di depan gerbang istana. Gerbang istana itu sangat besar. Meski terlihat sudah berkarat namun tetap terlihat megah. Ditembok dan gerbangnya banyak tanaman menjalar sehingga terkesan angker dan keramat. Didepannya ada dua penjaga gerbang, mereka dinamakan Hantu Gunung. Mereka sangat tegas dan tak banyak basa-basi. Wajah mereka keras dan kasar. Kerena itulah Mareene suka enggan menjalankan tugas turun temurun keluarganya ini.
"ada perlu apa?" tanya salah satu Hantu Gunung tanpa menatap Mareene
"saya ingin menyampaikan kabar tahunan pada Ratu Hutan," jawab Mareene.

"apa buktinya?" tanya Hantu Gunung yang mulai melirik pada Mareene
Inilah bagian yang tak disukai Mareene, Ia harus menceritakan kronologi bagaimana utusan Angin Barat datang ke rumahnya tadi pagi. Tapi tak sampai di situ saja, Ia masih harus meyakinkan dua Hantu Gunung itu mengenai ceritanya, tentu saja dengan melakukan Sumpah Hutan Dalam yang sangat rumit.
Akhirnya Ia berhasil menghadap Ratu Hutan. Ratu Hutan sangat cantik dan anggun. Mareene selalu suka melihat cara berjalan Ratu Hutan yang menanggahkan kepala namun tak terlihat sombong. Gaun hijau toskanya manyapu lantai istana. Pakaian yang berat, setidaknya begitulah pikiran Mareene. Ratu kemudian duduk di singgasananya. Kedua dayangnya mendampingi di kanan dan kirinya.
"Mareene dari marga Peri Hijau Keturunan ke-18. Keluarga Sang Pembawa Berita Kemarau. Silahkan sampaikan beritanya." ujar Ratu Hutan dengan lantang dan anggun.
"berita dari utusan Angin Barat mengatakan bahwa kemarau akan datang sekitar 2 minggu lagi." Ujar Mareene dengan hormat.
"berita diterima. Terima kasih." jawab Ratu Hutan. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, selalu ada hadiah untuk Pembawa Berita. Diterimanya hadiah itu denagn senang hati. Tapi kali ini nampaknya Mareene harus membagi hdiah itu pada Perkutut yang telah membawanya ke istana.
Tugas telah selesai dilaksanakan. Mareene bisa menghirup udara segar dengan tenangnya. Ia pun pulang kerumah kecilnya di batang pohon oak. Ia tertidur pulas sekali. Angin bertiup sepoy-sepoy membuatnya semakin pulas. Wangi daun menyarbak setelah hujan berhenti. Matahari perlahan bersinar tanda hari baru telah datang. Dan Mungkin Marleene tak tau kalau pagi itu seluruh penghuni hutan sangat sibuk untuk bersiap-siap menghadapi musin kemarau.
Mareene mungkin akan bangun siang sekali hari itu, karena Ia sangat lelah...

No comments:

Post a Comment