Deras hujan terus menggerayangi pada kaca patri itu. Dengan background suara petir yang sedang bersilaturahmi dengan kehidupan manusia di sore itu. Dua generasi berkumpul di dalam rumah, menjaga diri dari pesta alam tersebut. Shilla, anak itu berumur sekitar 5 tahun setengah dalam usapan hangat sang nenek pada rumah yang gelap itu. Hanya ada lilin yang menerangi muka-muka keduanya.
Tak ada maksud saya untuk bercerita, hanya ingin mengkhayal tentang situasi saat itu. Ketika sang nenek bercerita apa saja yang ia ketahui dari ibunya dan moyang-moyang terdahulu. Shilla, si anak hiper dan cerewet itu hanya diam, mendengarkan setiap kata yang di suakan sang nenek. Tentang bagaimana hidup di zaman Belanda dan bergaul dengan orang-orang kompeni. Cerita2 dongeng klasik yang tidak masuk akal, sampai kisah romantis pertemuan sang nenek dengan kakek. Shilla mungkin tak mengerti tapi dia tetap mendengarkan setiap kisahnya yang mungkin baru dia mengerti nanti, di masa depan.
Diatas kasur kapuk dan bantal lepek yang wangi itu shilla merenah. Ngulet, mencari posisi enak untuk tidur dan meminta kembali sang nenek untuk mengusap kembali punggungnya. Sang nenek masih duduk, bersandar pada tembok putih yang dingin itu dan mulai bernyanyi daerah dengan suara lirihnya. Aahh, kelopak mata Shilla benar2 sudah tak kuat. Bersama dengan lagu dan hembusan angin dingin membawa Shilla kedalam alam bawah sadarnya. Berbungalah tidur Shilla, semau dia sesuka dia.
Sang nenek berhenti bernyanyi,melihat cucunya yang manis itu tidur ia ikut tergoler di sebelahnya, terpejam, mendekap Shilla. Menunggu tuan rumah datang, menunggu pesta berakhir, menunggu semua kembali kedalam kenyataan, dengan ketenangan yang mereka buat sendiri.
No comments:
Post a Comment