Sunday, August 2, 2015

The Questions of Life

Waw sudah berapa lama ya saya gak nulis di blog ini. Oiya, fyi saya telah membuat satu blog baru yang isinya khusus tulisan mengenai review film. Kenapa akhirnya saya split menjadi blog lain, tujuannya agar fokus aja. Jadi blog yang ini biar jadi kumpulan tulisan bebas saya. Jadi blog yang satunya lagi itu, yang megang masih tetap saya, ibaratnya adminnya masih saya. Tapi diisi oleh tulisan saya dan adik saya. Kenapa begitu, karena awalnya saya berpikir, lucu juga ya kalo obrolan saya dan adik saya tentang dunia film dituturkan dalam sebuah blog. Itung-itung meramaikan gaung perfilman di Indonesia juga sih hehehe...

Ini blognya, silahkan mampir > Kata Penonton

Sudah informasinya. Mari kita masuk ke cerita.
Beberapa minggu lalu, saya pulang dari Bandung setelah mudik Lebaran, naik travel ke Jakarta. Perjalanan di travel selalu membosankan. Karena lupa bawa headset, akhirnya saya menguatkan diri ditengah kebosanan dan kesunyian travel di siang itu. Di mobilnya juga enggak diputer lagu atau apa kek gitu. Sunyi, penumpang lain pada tidur.

Biasa, kalau lagi diem begitu, gak aneh kalau ada pikiran-pikiran bebas yang bersliweran. Salah satunya, tentang pertanyaan yang selalu muncul kalau kita lagi kumpul keluarga. "kapan lulus?", "mau kerja dimana?"," atau langsung jebret "atau mau nikah dulu?". Alamak! skripsi saya saja masih nunggak. Sebenenarnya ini isu klasik yang sering dihadapi mahasiswa tingkat akhir seperti saya ini. Udah biasa, harusnya. Tiap tahun, pasti selain menyiapkan baju untuk menginap di rumah saudara, juga jawaban-jawaban pamungkas untuk serangan pertanyaan ini.

Tapi dipikir-pikir, memangnya salah kalau ada pertanyaan seperti itu. Toh, saya sendiri juga sering bertanya soal, "udah kelas berapa?", "mau launjut sekolah kemana?", ke saudara-saudara saya yang lebih kecil dari saya. Dan pada masanya, saya pun akan termasuk orang akan melemparkan pertanyaan "kuliahnya sudah sampe mana?", "mau lanjut kerja atau S2?" pada saudara-saudara saya tadi. So, sebenernya harusnya pertanyaan itu sudah tidak aneh.

Kemudian yang saya pikirkan adalah kenapa muncul pertanyaan seperti itu? kenapa lebih terasa enggan menjawab pertanyaan seperti itu pada usia saya yang sekarang? kenapa dulu santai saja kalau ditanya sama saudara-saudara? Bukan berarti saya keberatan ya, sama sekali tidak. Ini cuma pemikiran dikala travel begitu membosankan. Hehehe...

Akhirnya saya sampai pada satu jawaban, kenapa pertanyaan-pertanyaan seperti itu muncul? Itu karena society (saya pikir kata "society" cukup pas menggambarkan masyarakat yang saya maksud) mulai menagih peran kita di kehidupan bermasyarakat. Mengingat saat saya menerima pertanyaan-pertanyaan ini usia saya sudah 23 tahun. Mungkin society merasa pada usia saya tersebut sudah cukup untuk mulai berperan di masyarakat. Ibaratnya, kamu sudah kuliah, sebentar lagi selesai, udah saatnya kamu mulai cari uang untuk keluarga, atau setidaknya dirimu sendiri. Kita mulai ditarik pada kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan aturan, seideal mungkin.
Pertanyaan itu tak pernah selesai selama kita belum 'ideal'. Contoh, kalau kamu sudah berusia 29 tahun dan belum menikah, tau dong pertanyaan apa yang akan muncul? hehehe... Karena menurut society hal tersebut tidak ideal.

Tapi tenang, pertanyaan itu kelihatannya bisa selesai juga, pada usia yang dianggap sudah cukup atau telah selesai menunaikan perannya di masyarakat (telah ideal ataupun tidak ya). Kayak umur-umur nenek ku gitu. Pertanyaan yang keluar adalah "sehat bu?", "cucunya berapa bu?", bukan pertanyaan menuntut lagi.

Jadi, bagi saya, masa-masa penuh tuntutan ini sebenarnya seru juga kalau dinikmati. No, setiap masa (part of your life) itu layak untuk dinikmati. Oh bukan lagi, bukan dinikmati bahasanya, layak untuk disyukuri dan diikhlaskan.

No comments:

Post a Comment