Sunday, December 15, 2013

Soekarno (2013)

Tadaaa... Dapur Films kembali mengeluarkan satu lagi film biopic yang cukup tendensius ya bisa dibilang hehehe... Setelah beberapa film sebelumnya, Habibie dan Ainun, Sang Pencerah, dan Sang Kyai, nampaknya tipikal cerita salah satu rumah produksi ini mulai terbentuk ya. Hmm... Bukan hal buruk kok. Kali ini Hanung  Brahmantyo, selaku empunya Dapur Films, berkolaborasi dengan Multivision Plus (MVP) Pictures, milik sang raja sinetron Raam Punjabi. Sebenarnya waktu awal menggelegarnya nama Hanung lewat salah satu film masterpiece nya, Ayat-ayat Cinta, Ia pernah juga bekerja sama dengan "adik" MVP, yakni MD Entertainment, kepunyaan Dhamoo dan Manoj Punjabi. Punjabi brother lagi... Yah, gak masalah sih, namanya juga industri, butuh perputaran budget juga ya.

Dan nampaknya para raksasa industri film Indonesia ini mulai sadar soal selera tontonan rakyat Indonesia yang mulai berubah. Cerita cinta masih jadi andalan tapi sudah tidak sesederhana dulu. Butuh yang lebih berisi kini. Jujur aja, kadang saya suka ngebatin dan ngerasa, industri film di Indonesia jauh... Jauh lebih liberal daripada pemerintahan Indonesia sendiri. Hmm... tapi berhubung saya bego soal politik, mari kita tinggalkan topik itu hehe...

Baiklah. Film ini dibuka oleh nyanyian Indonesia Raya. Kalau waktu itu saya gak tau malu, saya mau tuh ikut berdiri sambil nyanyi hehe... Diawal film kita suguhkan cerita tentang seorang anak penyakitan yang nantinya menjadi salah satu tokoh di Indonesia. Cukup detil juga ini film, digambarkan bapak (Sudjiwo Tedjo) dari Soekarno yang waktu itu masih bernama Kusno Sosrodihardjo, sedang repot mengurus sajen dan tidur dibawah ranjang Kusno yang sedang sakit, agar penyakit anaknya itu sembuh. Iya itu, begitulah kehidupan masyarakat Jawa dulu, jujur juga ya ini film. Diawal cerita padat dengan segala hal tentang budaya-budaya bangsawan Jawa dan kehidupan Jawa.

Pada film ini, pengenalan karakter Soekarno (Ario Bayu) dipaparkan dari masa kecil beliau. Gaya flamboyan sudah digambarkan pada Soekarno kecil (Emir Mahira), yang telah memacari gadis Belanda. Kemudian cerita loncat pada masa penahanan Soekarno di penjara Banceuy bersama rekan-rekannya karena dianggap komunis. Yap, Soekarno sudah dekat dengan ideologi itu sejak kecil. Pada salah satu plot diceritakan Soekarno kecil yang sedang mengobrol dengan Musso. Musso, pemimpin PKI pada 1920. Kemudian plot loncat lagi pada saat-saat pembacaan pleidoi terkenalnya Soekarno, "Indonesia Menggugat". Saat itu Soekarno telah beristrikan Inggit Garnasih (Maudy Koesnaedi), kemudian dibuang ke Ende oleh pemerintah Belanda.

Disana Soekarno bertemu seorang gadis muda bernama Fatmawati (Tika Bravani) yang juga merupakan muridnya. Woh, kisah cinta yang rumit ya. Bisa dibilang porsi kisah cinta segitiga ini hampir 50-50 dengan cerita politik Soekarno.

Sampai pada titik kedatangan Jepang di Indonesia, saat itulah Soekarno kemudian bertemu dengan tokoh yang nantinya menjadi sidekick nya, Mohammad Hatta (Lukman Sardi). Hatta digambarkan begitu kaku dan realistis, seperti pada salah satu plot tentang penentuan dasar negara, beliau menyarankan negara federasi sebagai dasar negara karena Indonesia terdiri dari berbagai budaya yang berbeda-beda, meski kemudian Soekarno tidak setuju pada pendapat itu, karena bagi beliau sistem macam itu tidaklah nasionalis. Hmm... Politik...

Seperti ada yang kurang dalam penokohan Soekarno. Entahlah, mungkin karena dari kecil saya sudah terbiasa dengan cerita sejarah tentang Soekarno yang kharismatik, maka pada film ini saya merasa, memang penggambaran kharismatik itu ada, lewat dialog-dialog seperti bagaimana Sutan Sjahrir (Tanta Ginting) tetap membutuhkan sosok Soekarno dalam proklamasi kemerdekaan atau pihak Jepang yang mengakui kemampuan Soekarno dalam menarik massa, namun entah kenapa penggambaran tokoh Soekarno ini berakhir hanya sebagai orator handal yang dielu-elukan rakyat dan dibutuhkan para politisi. Kalau saja ada sesuatu yang lebih ya.

Kemudian tokoh Hatta (salah satu tokoh favorit saya di dunia perpolitikan, diluar film ya hoho...), nampaknya kurang digarap sehingga seperti pelengkap saja. Chemsitry antara Soekarno - Hatta ini memang dimunculkan, namun berakhir begitu saja, tanpa makna atau apa kek.
Nah, ini dia, justru tokoh Sjahrir, yang sejak awal sudah mengenal Hatta dan agak bersebrangan dengan Soekarno ini jadi menonjol. Karakter yang digambarkan menggebu-gebu dan to the point ini menghidupkan cerita patriotisme dalam film ini.
Plot cerita cenderung cepat, tapi untung tiap momennya berhasil digambarkan dengan baik. Sepanjang film saya ngebatin, ini pengambilan gambarnya dimana ya.. keren-keren loh... Dan satu lagi, penataan musik di film ini bagi saya, baguuus... Pokoknya penuh dengan musik-musik tempo dulu, sampe ke musik score nya itu memakai lagu "Wanita" yang kemudian di nyanyikan lagi oleh Afgan sebagai salah satu soundtrack film ini.

Pada akhirnya, membuat film biopic itu butuh penanganan yang khas, apalagi tokoh yang berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Karena sejarah tetap sejarah yang turun berdasarkan cerita-cerita lisan ataupun tulisan yang ditulis seseorang berdasarkan sudut pandangnya masing-masing. Sejarah tetap sejarah yang punya berbagai versi, mau yang dilegalkan seperti pada buku-buku sekolah maupun versi "bisik-bisik"nya. Dan film tetaplah film, tergantung bagaimana sineas di film itu memilih dan meramu cerita mana yang akan divisualisasikan.
Biar sejarah yang membersihkan nama kita...

Oiya, saran aja sih, karena ini filmnya agaknya berdasarkan sejarah bebas, bukan seperti pada Habibie dan Ainun yang berdasarkan cerita asli tokohnya sendiri, jadi kayaknya penonton harus mengingat-ingat sejarah Indonesia lagi nih. Apalagi plot cerita di film ini yang loncatnya cukup cepat, jadi penonton harus sadar apa yang terjadi pada plot itu, kalau enggak nanti bingung. Seperti saat pembentukan PUTERA dan kemudian muncul PETA, nah kan (kayak waktu saya nonton di bioskop, akhirnya anak-anak yang nonton di belakang saya malah rusuh karena bete kayaknya. Pengen jitak deh...).

Yah, begitulah, semoga film ini bisa jadi pemicu film-film biopic lainnya di tanah air. Ya siapa tau ada kelanjutannya hehe... Eh beneran loh, kisah couple Soekarno - Hatta itu cukup potensial, atau mungkin ada kisah Soekarno dari sisi lain, kalau kata kuis nya Uya Kuya sih, bisa jadi!.


Detail
Gendre: History, Biopic, Drama
Running Time: 137 menit
Rating (LSI): R (Remaja)
Language: Bahasa (Indonesia)

Production: MVP Pictures, Dapur Films, Mahaka Pictures
Producer: Raam Punjabi
Screenplay: Ben Sihombing, Hanung Bramantyo
Director: Hanung Bramantyo
Cast: Ario Bayu, Lukman Sardi, Maudy Koesnaedi, Tika Bravani, Tanta Ginting, Ferry Salim, Agus Kuncoro, Sudjiwo Tedjo, Emir Mahira.
Music by: Tya Subiakto
Cinematography by: Faozan Rizal
Editor: Cesa David Luckmansyah


Intermeezzo
Entah tiba-tiba saya jadi kepikiran sama film-film tentang Hitler. Salah satunya Inglourious Basterd garapan Quentin Tarantino. Film konyol itu (yah bagi saya begitu) masuk dalam jajaran nominasi dan pemenang di Golden Globe, padahal disitu, masa Hitler meninggalnya di gedung bioskop, astaga kasian yang gak tau sejarah kayak saya gini, ketipu mentah-mentah (siapa suruh gak tau sejarah ya -_-).

No comments:

Post a Comment