Friday, May 21, 2010

Dikejar Hujan

Rara berjalan cepat dari depan komplek rumahnya. Udara disekitarnya membelai hangat tapi angin bertiup kencang sekencang mereka meniup awan-awan hitam menaungi daerah komplek perumahan yang luas tersebut. Di depan komplek beberapa anak kampung daerah setempat masih asyik bermain dampu. Mereka sama sekali tak memperhatikan bahwa sebentar lagi akan ada tamu dari langit yang siap membasahi bumi. Harum mie ayam menggelora di pernafasan. Asap yang keluar dari kuali menggulung-gulung seperti asap rokok yang ditiupkan Caterpillar di film Alice In Wonderland. Aroma kaldu yang telah lama mendidih dan siap ditungkan kedalam mangkok begitu gurih. Begitu menggoda Rara yang kelelahan di hari itu. Sekumpulan ibu-ibu mengobrol dengan serunya, beberapa yang lain serius dengan semangkok panas mie ayam berwarma kemerahan akibat saos sambel yang dituangkan dengan sewenang-wenang. Mungkin karena itulah mengapa pedagang mie ayam selalu menyediakan saos sambal murahan yang sangat merakyat itu.

Daerah rumah Rara semakin padat sekarang. Ya, setidaknya dapat terlihat dari depan komplek Rara. Semua penduduk sekitar situ seolah sibuk membangun, entah itu warung sembako, grosiran, warung nasi, warung mie, tempat reparasi elektronik, sampai sekedar warung kopi, dan satu lagi yang paling mengundang perhatian adalah toko yang menjual aksesoris kesebelasan persija juga mulai merambah di daerah ini. Lengkap dengan poster, slayer, syal, kaos, dan serba-serbi slogan jakmania semua berkumpul disana, semuanya oranye, membuat mata harus agak menyipit melihatnya karena sesilau sinar matahari terbenam di lembayung. Dulu awalnya semua pembangunan itu sifatnya temporer, masih bisa diubah-ubah, masih menggunakan triplek, tetapi makin kesini semuanya ditembok menjadi bangunan utuh yang seharusnya mempunyai izin bangun. Tapi begitulah Indonesia, mungkin Pulau Jawa ini semakin kehilangan tanah lapanganya akibat terlalu banyak orang disini.

Rara tetap tak mau berhenti. Ia berjalan terus karena nampaknya langit semakin menggelap dan samar-samar suara langit terdengar meskipun kilatannya hanya sepintas saja. Sampai di depan pos satpam kompleknya suasananya berubah. Lebih lega dan lebih teratur ketimbang yang diluar komplek tadi. Beberapa satpam menyapa Rara, Rara pun menjawabnya dengan anggukan. Terlihat di markas satpam ada manusia perabotan. Hmm… mereka senang bermain gaple dan yang kalah, selamatlah ia karena segala perabotan rumah tangga—ember, centong, paci, sapu, dsb—menggantung diseluruh badannya.

Rara masih berjalan. Ia melewati SD nya dulu. Sekarang SD Negeri itu sudah di pugar. Setidaknya lebih nyaman dilihat dan ditempati para peserta didik. Namun gerbangnya tinggal satu sekarang karena gerbang kedua yang berada dibelakang—tempat Rara keluar masuk—sudah ditutup. Dan kemajuan lainnya, sekarang SD itu sudah punya seragam baru, kotak-kotak. Tidak hanya putih-putih… merah-putih… putih-putih… merah-putih… atau pramuka.

Sampai di tikungan hujan rintik mulai turun meskipun jeda datangnya masih renggang. Tapi hal itu semakin membuat Rara terobsesi sampai rumah lebih cepat. Rara sampai pada sebuah jalan lurus yang agak menurun. Sebenarnya Ia senang menikmati suasana di jalan tersebut. Lega, sejuk, dan tidak terlalu ramai. Sebelah kiri jalan berderet rumah-rumah yang telah banyak di pugar dari rumah aslinya. Biasanya kalau cuaca sore cerah banyak mbak-mbak dan anak majikannya bermain di sekitar jalan situ. Bercengkrama di bawah bayangan pohon atau duduk-duduk di tepian luar rumah. Para mbak kompak membawa piring kecil yang berisi makanan untuk si anak majikan, paling hanya satu-dua orang yang tidak membawa piring karena anak asuhnya sudah agak besar. Di sebelah kanan jalan terbentang tembok yang cukup tinggi dan sulit untuk dipanjat—meskipun kadang-kadang ada anak yang nekat juga memanjat tembok itu—untuk membatasi komplek dengan daerah diluarnya. Kalau dilihat dari jauh dan agak jingjit akan tampak Gedung Diklat menjulang disebrang sana. Jika maghrib menjelang lampu-lampu gedung itu menyala menerangi ruangan yang ada disana. Agak jauh dari Gedung Diklat barisan pohon-pohon bambu berjejer menempel pada bagian luar tembok batas komplek. Suara mereka bergemuruh jika angin bertiup agak kencang. Dan hal ini sering membuat orang agak was-was berjalan di jalan ini pada malam hari sehingga munculah berbagai kisah misterius. Namun nampaknya hal ini tak menjadi masalah untuk para penghuni rumah di deretan jalan tersebut, toh Rara juga menikmati gemuruh bambu itu jika sedang naik sepeda sore-sore.

Frekuensi hujan rintik semakin sering. Rara mulai agak berlari sekarang. Ia berlari di jalan yang menurun itu dan membuat larinya semakin kencang. Sampailah Rara di rumahnya. Dibukanya gembok pagar dan Ia masuk. Di tariknya kenop pintu masuk dan… ah, kenapa aku tak diberi kunci pintu rumah pikirnya. Di belnya rumah tak ada sahutan. Di ketok, nihil. Hujan diluar mengguyur deras. Rara tak bisa kemana-mana. Ia duduk lunglai di teras depan rumahnya. Rara mencoba menghubungi kakaknya, tapi hanya ada suara perempuan yang menyahut silahkan tinggalkan pesan. Ia coba hubungi Ibunya. Yes, diangkat tapi kemudian “nanti ya Ra, Ibu lagi rapat, sms aja…,” nut…nut…nut… belum sempat Rara bicara sama sekali. Rara pun meng-sms Ibunya dan menunggu seseorang datang menolongnya untuk masuk ke rumah.

Mengusir bosan Rara mengeluarkan novel yang belum habis dibacanya. Sesekali Ia melihat keadaan sekitar disela-sela bacanya sambil berharap cepatlah seseorang datang. Jam menunjukan pukul 6 sore. Sudah dua jam Ia menunggu diluar. Dingin dan basah. Sangat enak jika ada mie yang mengepul dihadapannya dan siap untuk dilahap. Hujan mulai memberhentikan airnya. Awan pelan-pelan bergeser. Langit menjadi lebih tenang. Di petang itu Rara menerawang jauh menembus kemerahan lembayung senja. Tak ada beban yang dipikirkannya. Hanya kekaguman pada semesta yang indah. Bagi Rara langit adalah saksi bisu tentang semua cerita masa lalu. Bersatu dengan mitos-mitos manusia yang melesap diantara zaman. Itulah langit yang juga arti untuk Rara. Azura, azure, langit yang biru.

Ton…ton…
“Ra, ngelamun aje!” teriak Flaresa dari dalam mobilnya.
“Ngelamun? Tega lu ya sama adek sendiri. Gue gak di kasih kunci pintu rumah” Jawab Rara
“Maaf ya. Bukain dong garasinya.”
“Buka aja sendiri.” Rara benar-benar ketus…


Sumber Gambar:  freeyourhead.wordpress.com/2009/...ay-baby/

No comments:

Post a Comment