Sunday, December 20, 2009

Pembaca adalah Para Maniak

Disuatu video Premiere Sang Pemimpi di youtube Andrea Hirata berkata yang paling membuatnya deg-degan untuk film sekuel Laskar Pelangi ini adalah reaksi para pembaca tetraloginya. Kemudian dia melanjutkan bahwa para pembacanya sebenarnya banyak yang menolak tetralogi ini agar difilmkan.

Ya. Memfilmkan sebuah novel sama saja membatasi imajinasi seorang pembaca terhadap novel itu sendiri. Karena ada batas-batas pada sebuah film untuk memvisualisasikan imaji para pembaca. Maka harus ada kejelian para penggarapnya untuk project ambisius ini. Merangkumnya dalam suatu kesatuan dan meramunya menyatu di alam imajiner pembaca. Jika project ini berhasil para pembaca akan merasa imajinasinya tumpah ruah di layar bioskop. Sensasinya pun akan berbeda antara pembaca dengan bukan pembaca. Mungkin reaksi bukan pembaca "waah, filmnya keren ya." atau, "two tumbs up deh buat nih film.". Tapi reaksi pembaca maniaknya, mungkin hanya diam tapi ada seribu kata atas luapan emosi yang tak bisa keluar. Dan di statusnya "Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu," atau "A Lone Ranger." Mereka akan kembali mendalami cerita itu dalam alam khayal mereka tapi dengan penggambaran yang lebih kongkrit.

Maka merekalah para maniak di dunia sastra.

Saturday, December 19, 2009

Sang Pemimpi

hmm.. Bingung mau mulai darimana. Okeh. Aku gak bisa berenti nangis di akhir-akhir film Sang Pemimpi. Tentang hasil kepesimisan Ikal akan masa depannya yang membuahkan hasil yang tak mengenakan. Tentang tanggungjawab guru terhadap muridnya di awal kehidupan mereka. Tentang seorang ayah yang menjadi sebuah kekuatan untuk anaknya. Tentang jiwa-jiwa muda yang mengejar mimpinya.
Benar. Terasa sangat dinamis. Diawal cerita berjalan agak lambat dengan banyak adegan-adegan pendek yang terasa janggal. Meskipun akhirnya menyatu menjadi sebuah kesatuan yang mengesankan. Karena aku yakin tak mudah untuk membuat pengenalan tokoh dua kali--karena tokoh dalam Sang Pemimpi dan Laskar Pelangi berbeda. Ya. Sutradara tahu bahwa film ini juga ditonton oleh orang-orang yang belum membaca bukunya.


Musiknya. Khas Laskar Pelangi. Dengan gendang dan cengkok melayu dalam musiknya tidak dihilangkan dalam film ini. Mungkin ini sebagai tanda bahwa Sang Pemimpi adalah sekuel dari Laskar Pelangi meskipun dengan tokoh yang berbeda--maksudnya tokoh-tokoh pendampingnya.

Didalam film ini ada banyak kata-kata filososis yang diteriakan "para pelopor"--begitu kata pak Balia menyebut murid-muridnya. Memang dari empat bukunya bagiku Sang Pemimpi adalah inti cerita. Begitu banyak filosofi atau setidaknya kata-kata bermakna dalam di bukunya--coba baca bukunya, akan ada lebih banyak kata-kata bermakna.

"Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu"

"Tanpa mimpi, orang-orang seperti kita akan mati "

"Aku belajar bahwa pria pendiam sesunguhnya memiliki kasih sayang yang jauh berlebih dibanding pria sok ngatur yang merepet saja mulutnya"

"Tuhan tahu tapi menunggu"

"Kau boleh marah padaku, kau boleh benci padaku, asal kau jangan acuhkan aku"

Yah, setidaknya inilah petikan-petikan kalimat yang aku ingat dalam buku Sang Pemimpi.

Sudahlah. Aku bingung mau ngomong apalagi. Karena aku terlalu simpati terhadap sosok ayahnya Ikal. Aku masih terbawa euforia mimpi simpai keramat yang bernama Arai itu. Tapi sungguh, Sang Pemimpi adalah cerita kehidupan. Sensasi film ini terasa di akhir cerita. Menurut aku loh. Soalnya aku sampai sesegukan di akhir film..


note: akhirnya Sang Pemimpi rated-nya REMAJA. Karena memang cocok nya ditonton umur-umur remaja yang pikirannya masih ngalor ngidul. Masih bingung sama dirinya sendiri. Yaa, bisalah Sang Pemimpi menjadi semacam rekomendasi untuk masa depan. Sekolah ke Paris? Boleh juga tuh...


Masa Muda Masa yang Berapi-api.... -Rhoma Irama-

Gendre: Drama Produksi: Miles Film & Mizan Productions Produser: Mira Lesmana Sutradara: Riri Riza Penulis Skenario: Salman Aristo, Mira Lesmana, Riri Riza Pemain: Lukman Sardi, Mathias Muchus, Nazril Irham, Landung Simatupang, Nugie, Rieke Diah Pitaloka, Jay Wijayanto, Yayu Unru, Vikri Septiawan, Rendy Ahmad, Azwir Fitrianto, Maudy Ayunda, Zulfany, Sandy Pranatha

Tuesday, December 15, 2009

Senin Pagi


Tamparan bertubi-tubi datang
Hingga perasaan memar-memar
Begitu ngilu
Untuk segala hal di Senin pagi itu
Yang begitu membuatku jatuh
Pecah semuanya
Terserak begitu saja
Aku tak lagi bisa membohongi diri lagi
Aku begitu panas di ruang yang dingin itu
Aku merasa kalah
Untuk segala halnya di Senin pagi itu
Hingga aku menjadi orang yang tidak peduli di pagi itu
Aku lepaskan semuanya
Lihatlah balon yang berwarna-warni itu
Biarkanlah mereka terbang menyambut angkasa
Lepaskanlah ikatannya dan biarkan bergelora
Bebaskan mereka sampai menghilang di pucuk-pucuk udara

***
Suatu tarikan nafas panjang mungkin bisa membakar sedikit api semangat
Dari suluh-suluh yang penuh harapan tentang esok hari


(Picture is limited edition art print from artist Robert David Bretz of a Little Girl, Her Balloon Heart and Her Puppy. Source web : www.tildaintheburbs.com)

Thursday, December 10, 2009

Aku dan Kasur Lipat

Cerita ah.. cerita yuu..

Kemaren pagi aku liat bus-nya anak-anak TK udah siap dari subuh. Sepertinya akan ada outing class bagi para anak TK tersebut. Beberapa ibu-ibu sudah bergerombol sambil membawa gembolan perbekalan untuk sang anak dan tentu saja dirinya. Entahlah, mungkin memang sudah menjadi suatu kebiasaan yang lumrah di Indonesia, para ibu-ibu ikut menemani anak-anak mereka yang masih TK tersebut outing class. Pasti yang membaca tulisan ini merasa janggalkan? Lah memang sudah sepatutnya para ibu menemani anak mereka.

Mmm maaf ya (ala dennisyah, anak rohis di sekolah ku yang ingin jadi sunan kesepuluh, ZONK!), begini, bukan maksud ingin membandingkan. Tapi aku jadi inget (dan sedikit kangen) masa-masa ku waktu TK di Jepang dulu. Cuma setahun sih, dan waktu itu aku masih kecil banget (umur sekitar 4-5 tahunan). Dulu waktu aku TK di sana ada outing class juga. Rutin malah. Dan yang di sebut outing class, benar-benar dalam konotasi yang sesungguhnya (jadi denotasi gitu loh). Outing class, belajar diluar ruangan. Benar-benar diluar ruangan. Di taman, di kebun ubi, di gunung. Tak terbatas musim.

Kita mulai dari musim salju. Duingiiin buanget.. pada musim ini mamah memberiku pakaian extra yang berlapis agar anaknya yang punya genetika bengek alias asma ini tidak terlalu kedinginan. Lapis pertama daleman, lapis kedua kaos dan celana panjang (kadang pake sejenis kaos kaki tapi panjang kayak stoking), lapis ketiga sweater dan kaos kaki, lapis keempat jas salju yang hanya dipakai luar ruangan. Tambahannya sepatu boat, sarung tangan, syal, kadang topi yang menutupi telinga. Oke. Jangan harap setiap musim salju tidak ada aktifitas diluar ruangan. Kita anak-anak TK dengan cairan hidung yang bercucuran akibat udara dingin dilepas di suatu lapangan yang lumayan luas untuk ukuran anak-anak. Di lapangan itu seperti memang sudah di sediakan untuk musim dingin ini. Kalau suka nonton doraemon mudah-mudahan bisa mempermudah gambaran ini, di lapangan ini ada beberapa pipa-pipa (seperti gorong-gorong bekas) yang ditumpuk begitu saja. Nah jika salju turun pipa-pipa ini akan membentuk sebuah bukit kecil yang kemudian kita bisa berseluncur diatasnya. Semua anak harus ikut bermain. Semua anak harus berani mencoba berseluncur dari atas pipa itu dengan papan seluncur mini yang disediakan. Woow, asiknyo. Udara dingin seakan menampar muka dan gigi. Kadang saat-saat lelah aku suka mengambil segepok salju lalu aku makan. Segarnyoo. Tapi kalau ketahuan sensei, "dame nee.." sambil menyilangkan kedua tangannya.

Semi. Daun-daun sakura bermekaran. Kemudian beterbangan tertiup angin, menghujani orang-orang yang terlepas dari belenggu salju. Ini dia paling asoy. Musim semi musimnya jalan-jalan. Ke gunung, ke kebun, kemana-mana... Dan sumpah, kami sama sekali tidak ditemani orang tua saat berusaha mendaki bukit kecil itu. Anak-anak kecil yang hanya di temani para senseinya mendaki bukit itu. Bawa ransel sendiri, bekal sendiri, sampai tikar sendiri. Meskipun gempor juga jalan menanjak terus, tapi ada suatu semangat untuk tetap terus mendaki sampai ke puncaknya. Kalau kita sudah terduduk di aspal itu senseinya datang hampiri kita. Memberikan sebuah wejangan yang entahlah membuat kita bangkit lagi... Para sensei, gaya mereka seperti bukan seorang pengajar sekolah yang memakai pakaian formal lengkap (setidaknya informal) tapi seragam mereka hanya kaos dan celana training biasa plus sepatu kets, santai banget. Dan sama seperti kita mereka juga membawa ransel, bekal, dan tikar lipat. Sesampainya dipuncak bukit. Wiih, udara segar... kami mulai membuka perbekalan. Tikar lipat (di Jepang ada tikar lipat kecil khusus anak-anak, lucu deh) yang kami bawa segera terbentang. Kami pun menikmati semi dipuncak bukit ini.

Gugur. Musim ini angin berhembus agak kencang. Jadi anak-anak TK itu hanya diperbolehkan bermain disekitar taman saja. Musim gugur itu musim yang dramatis. Dikanan kiri semua berwarna jingga kemerahan. Orang-orang mulai mempersiapkan diri akan datangnya salju. Nah di Jepang, musim ini penuh dengan berbagai festival (sebenarnya di setiap musim pasti ada festival. Benar, sesibuk-sibuknya orang Jepang entah mengapa di negaranya sering sekali mengadakan festival yang sebenarnya menguras waktu juga. Dan festival tersebut tidak hanya untuk golongan atau kelompok tertentu saja tapi memang disuguhkan untuk seluruh warga Jepang, khususnya Urasa, kota kecil tempat aku tinggal waktu itu).

Summer. Woow, saatnya liburan...

Tapi bener loh kalau kata orang, orang Jepang itu pekerja keras. Aku yang pendatang disana mau tak mau harus mengikuti kebiasaan mereka. Seperti saat menggelar tikar (saat naik bukit) adalah hal yang agak sulit buat ku. Menata tikar sehingga enak untuk diduduki, membereskan bekal-bekal sendiri. Atau saat waktu mengganti sprei tiba (di Jepang anak-anak sekolah sampai sore, termasuk anak TK. Khusus anak TK ada waktu dimana mereka harus tidur siang, jadi anak-anak itu punya futong--kasur lipat--masing-masing yang disimpan di sekolah). Aku cuma dibekali mamah sprei baru yang wangi dari rumah--dormitory. Sisanya aku harus susah payah menyarungkan futong itu sendiri. Awalnya berantakan, sangat berantakan, kadang aku sampai mau nangis apalagi melihat teman-teman yang telah menyarungkan futong masing-masing dengan rapi dan lurus.

Yaah, cuma sekilas cerita gara-gara ngeliat ibu-ibu yang repot bawa perbekalan tadi pagi..


HOHOHO

Friday, December 4, 2009

Desember Ini


Aha! Akhirnya ketemu juga. Rasa-rasa yang salah. Yang membuat semuanya menjadi salah. ZONK!

Desember itu selalu dingin didaerah para koloni subtropis. Tapi bagi ku Desember ini menjadi terlalu melankolis. Agak abu-abu.

Sepertinya perasaan galau lagi banyak hinggap di kanan kiri. Si A, si B, Si C... Semua beraura galau. Sampai-sampai aku pun terbawa suasana.


Dingin menyergap Desember ini
Ketika salju yang lembut itu turun
Seorang anak kecil berlari menyambut kapas-kapas langit itu
Menyentuhnya, menampungnya dalam tangan kecil
Dingin menyekap Desember ini
Menyibak galau yang mengusik hari-hari
Membawanya beku
Memasukannya dalam kotak harapan
Yang suatu saat tak pernah diingatnya lagi